Mahasiwa Universitas Mulawarman, aktif di kegiatan kampus sekaligus menekuni dunia kepenulisan opini. Fokus tulisan saya berkisar pada perubahan sosial, isu lingkungan, serta dinamika mahasiswa di Indonesia.
Perubahan Cuaca Ekstrem di Samarinda dan Dampaknya bagi Masyarakat
11 jam lalu
Cuaca ekstrem kini menjadi masalah serius bagi penduduk Samarinda dari berbagai sektor, jadi bagaimanakah cara masyarakat menyesuaikan diri?
***
Belakangan, warga Samarinda sedang dibayang-bayangi oleh cuaca yang sangat sulit untuk diprediksi. Hujan deras bisa tiba-tiba turun di siang hari yang cerah, atau bisa juga panas yang terus menyengat tanpa tanda-tanda hujan sedikitpun. Pola ini bukan cuman sekadar fenomena yang berlaku sesaat, melainkan gejala nyata yang terus-menerus berlangasung dan sangat mengganggu kehidupan sehari-hari masyarakat.
Menurut BMKG, beberapa daerah di Kalimantan Timur, seperti Kutai Timur, Mahakam Ulu, Kutai Barat, dan Berau, terdeteksi curah hujan harian yang ternyata cukup tinggi, bahkan melebihi 100 mm selama bulan Maret 2025. Ini menunjukkan bahwa hujan ekstrem semakin sering terjadi di daerah itu. Sebaliknya, informasi dari Stasiun Meteorologi di Samarinda mencatat bahwa pada bulan Agustus dan Oktober 2024, jumlah curah hujan tergolong melampaui rata-rata normal, yaitu mencapai 197 mm pada bulan Agustus dan 204 mm pada Oktober, dengan frekuensi hari hujan yang lebih tinggi dari biasanya.
Fluktuasi cuaca ekstrem ini berdampak cukup luas. Pertama, sektor kesehatan turut terbebani. Curah hujan yang tiba-tiba dan deras menjadi ‘sarang’ ideal bagi berbagai penyakit, contohnya seperti DBD, ISPA, dan lainnya. Sebagai contoh, sepanjang 2024, Dinkes Samarinda mencatat 199 kasus DBD, yang menjadi salah satu sumbangsih yang signifikan terhadap total kasus di Kalimantan Timur.
Kedua, sektor ekonomi juga terkena imbasnya. Pedagang kaki lima yang biasanya mengharapkan sebuah hari cerah untuk melancarkan pekerjaannya sering kali harus menanggung kecewa karena hambatan hujan deras. Petani pun turut berada dalam dilema, banjir akibat hujan deras bisa merendam lahan, sementara panas dari musim kemarau yang panjang bisa menghambat atau bahkan menghentikan pertumbuhan tanaman sebelum waktunya.
Dari segi sektor lingkungan dan infrastruktur, Samarinda berhadapan dengan tantangan serius. Saluran drainase yang terhalang dan kurangnya area terbuka hijau meningkatkan kemungkinan terjadinya genangan air. Di sisi lain, kemarau yang berlebih memperbesar resiko kebakaran, terutama di area pinggiran kota yang masih bersebelahan dengan lahan semak atau hutan kecil.
Sebelumnya, terlihat bahwa tanggapan pemerintah kota lebih merespons setelah bencana terjadi daripada mengambil langkah pencegahan sejak awal. Padahal, dengan lebih dulu mempersiapkan sistem peringatan dini, memperkuat jaringan drainase, dan menambah ruang hijau bisa jauh lebih efektif daripada harus menunggu bencana terjadi dulu.
Namun, sekarang pemerintah kota sudah mencoba melakukan beberapa hal terkait proses pencegahan ini, seperti perbaikan sistem drainase, mengeruk dasar sungai di beberapa lokasi yang terkenal rawan banjir agar ke depannya apabila hujan berlangsung lama, diharapkan sungai itu dapat menampung lebih banyak air tanpa meluap, sementara pemerintah juga berupaya mengoptimalkan penggunaan mobil tangki air bersih jika terjadi musim kering secara tiba-tiba terutama di daerah yang mengalami kesulitan dalam memperoleh air bersih, meskipun mungkin belum optimal. Tidak hanya pemerintah kota saja yang mencoba mencegah terjadinya bencana ini, mahasiswa juga turut membantu, salah satunya dalam hal edukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan, seperti tidak membuang sampah sembarangan yang menjadi penyebab tersumbatnya aliran air.
Warga Samarinda sendiri tidak boleh hanya sekadar menjadi korban. Partisipasi aktif haruslah ada, seperti merawat ruang terbuka hijau di lingkungan masing-masing, selalu membuang sampah pada tempat yang sudah disediakan, serta menggalakan program hemat air, agar tidak terjadi krisis air saat kemarau.
Kesimpulannya, solusi atas persoalan ini tidak hanya bergantung pada Pemerintah saja, melainkan juga pada keikutsertaan masyarakat. Kerjasama antara kedua belah pihak akan menjadi penentu seberapa cepat masalah ini dapat diselesaikan secara berkelanjutan.

Mahasiswa Universitas Mulawarman, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Program Studi Hubungan Internsional
0 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler